Jakarta, viralhariini.com – Fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya-nanya) di mall-mall Indonesia makin sering terdengar belakangan ini, terutama viral di jagat media sosial dan menjadi perbincangan hangat masyarakat. Di tengah suasana mall yang tetap ramai secara visual, banyak pengunjung kini hanya sekadar jalan-jalan, berfoto, atau sekedar cuci mata. Aktivitas incarannya bukan belanja barang mewah atau borong baju baru, melainkan justru “jajan lihat-lihat” dan “hanya nanya harga” di counter, tanpa benar-benar membeli.
Fenomena ini sebenarnya bukan sekadar candaan netizen, tapi sinyal serius tentang kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia. Banyak orang ke mall hanya mencari hiburan murah, kehangatan ruang ber-AC, atau memenuhi tren update story, ketimbang benar-benar berbelanja. Di antara mereka, tak sedikit para Rojali dan Rohana yang harus menahan keinginan belanja karena kondisi keuangan yang menipis akibat tekanan ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Rojali-Rohana: Gambaran Nyata Keseharian Masyarakat Kota
Pergi ke mall buat sekedar “window shopping” atau “cuci mata” memang sudah jadi tradisi urban, apalagi ketika libur akhir pekan tiba. Namun, kini aktivitas tersebut tak lagi berbanding lurus dengan transaksi di kasir. Banyak toko, bahkan tenant makanan cepat saji, hanya menjadi spot nge-content atau tempat berteduh dari panas, sementara transaksi tetap sepi. Para pelaku bisnis ritel, fashion, dan F&B pun mulai merasakan dampaknya: traffic ramai, omzet lesu.
Lemahnya Daya Beli: Kenapa Ini Terjadi?
Ada sejumlah alasan utama kenapa Rojali dan Rohana semakin marak:
- Inflasi yang tinggi menyebabkan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup semakin melonjak, sementara pendapatan masyarakat stagnan.
- Banyak keluarga kini lebih selektif dalam membelanjakan uang, memprioritaskan kebutuhan dasar, menunda belanja barang sekunder atau tersier seperti fashion, gadget, atau hiburan mall.
- PHK, pengangguran, hingga pertumbuhan ekonomi yang melambat menyebabkan jutaan orang kehilangan pendapatan. Data terbaru menunjukkan lebih dari 23 juta orang tergolong miskin di Indonesia.
- Tekanan pembayaran cicilan, tagihan sekolah anak, hingga kenaikan biaya transportasi juga mengurangi ruang untuk pengeluaran konsumtif.
- Kepercayaan diri masyarakat terhadap perbaikan ekonomi juga menurun, membuat orang-orang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang.
Imbas Fenomena ke Dunia Usaha
Pelaku ritel, mall, tenant makanan, bahkan bioskop harus menghadapi realita baru di mana keramaian tak sama dengan omzet. Banyak pengusaha mengeluh omzet jauh dari target, sementara biaya operasional terus naik. Bahkan sejumlah mall melaporkan penurunan nilai transaksi harian dan aktivitas promo besar-besaran, namun hasilnya belum mampu mengangkat daya beli seperti dulu.
Para pengunjung pun tak sedikit yang mengaku ke mall sekadar menikmati suasana dan hiburan gratis. Dari pameran, live music, sampai event diskon besar-besaran, semuanya diikuti tapi “akhirnya cuma lihat-lihat.” Konsep “sekadar ngadem” di mall juga makin diterima karena pengeluaran bisa ditekan seminimal mungkin.
Sisi Sosial: Antara Guyonan dan Sinyal Bahaya
Meski istilah Rojali dan Rohana sering dipakai dengan nada bercanda, realitas di baliknya menunjukan sisi memprihatinkan. Masyarakat yang kehilangan daya beli perlahan bisa kehilangan quality of life. Hal ini otomatis memicu masalah sosial lanjutan: stres ekonomi, ketidakpastian masa depan rumah tangga, hingga potensi kriminalitas akibat tekanan hidup.
Ke mall bukan sekadar gaya hidup, tapi juga cara orang melarikan diri sejenak dari penatnya masalah ekonomi. Banyak keluarga, anak muda, hingga pekerja harian yang ke mall bukan mencari barang mewah, tapi ingin mengisi waktu dengan biaya seminimal mungkin.
Fenomena Rojali dan Rohana, Cermin Ketahanan Ekonomi
Fenomena Rojali dan Rohana di mall-mall Indonesia jadi alarm bagi banyak pihak — rumah tangga makin selektif, ekonomi harus dibereskan, dan bisnis mesti berpikir ulang cara membangun loyalitas pelanggan di tengah daya beli yang lemah. Di sisi lain, tren ini jadi pengingat bahwa hiburan gratis dan ruang publik yang inklusif tetap dibutuhkan masyarakat urban yang sedang berjuang menghadapi tantangan ekonomi.
Ke depan, semua pihak—pemerintah, pelaku usaha, maupun komunitas—perlu saling berbenah untuk mencari solusi konkret agar “ke mall” kembali jadi simbol pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup sehat, bukan sekadar pelarian karena beratnya hidup sehari-hari.
Baca juga : Film Wall to Wall: Ketegangan Realitas Hidup Perkotaan Korea
Satu Komentar