Kamboja, viralhariini.com – Hubungan dagang internasional kembali memanas usai pernyataan keras dari Presiden Amerika Serikat. Donald Trump mengancam Thailand dan Kamboja akan dikenai tarif impor sebesar 36% mulai 1 Agustus 2025. Ultimatum ini bukan sekadar gertakan di depan mikrofon. Bagaikan wasit yang berdiri di lapangan bola, peluit sudah diangkat, dan semua pemain tahu, sekali peluit dibunyikan, permainan langsung berubah.
Situasi ini tak ubahnya seperti dua keluarga bertetangga yang sudah lama bersitegang karena masalah batas tanah. Tiba-tiba, ada pihak luar yang baru saja pulang dari luar negeri datang dan bilang, “Kalau kalian terus ribut, jangan harap bisa belanja di toko saya dengan harga biasa.” Memberi tekanan agar keduanya segera berdamai, tapi dengan resiko harga kebutuhan pokok bakal “naik gila-gilaan” jika konflik tak segera selesai.
Ultimatum Tarif 36%: Ancaman atau Pecut Negosiasi?
Trump terang-terangan memberi ultimatum: jika Thailand dan Kamboja tak segera menyudahi konflik perbatasan yang belakangan memanas, semua produk dari kedua negara ke Amerika akan kena pajak 36%. Bukan angka kecil jika kita bayangkan harga barang jadi melonjak beberapa kali lipat. Seperti jajan di kantin yang tiba-tiba naik dua kali lipat karena konflik antar kelas.
Ultimatum ini ibarat timer di game yang semakin mendekati detik nol. Kalau tak juga menekan tombol “damai”, semua yang terlibat akan kena penalti besar. Thailand dan Kamboja akhirnya duduk bareng, setuju untuk melakukan perundingan gencatan senjata—seolah dua teman lama yang akhirnya sepakat berdamai, setelah diancam dikeluarkan dari grup chat bersama.
Efek Langsung ke Ekonomi & Industri
Tarif ini bak efek domino. Banyak produk teknologi, elektronik, bahkan fashion yang dirakit di Thailand dan Kamboja jadi lebih mahal di pasar Amerika. Perusahaan raksasa seperti Apple dan Nintendo pun bisa kebingungan mengatur jalur produksi mereka yang selama ini berpusat di Asia Tenggara. Bagi pekerja pabrik dan pengusaha kecil di kedua negara, ancaman ini seperti mendadak dapat kabar jam kerja dipotong separuh. Repot, panik, dan masa depan terasa makin tak pasti.
Di sisi lain, pemerintah Thailand dan Kamboja langsung waspada dan menyiapkan negosiasi “jalan tengah”. Mereka ibarat dua saudara kandung yang sedang dicegah orang tua agar jangan lagi berantem, karena jika terus ribut, uang jajan akan dipotong drastis. Negosiasi inilah yang kini dijadikan harapan, supaya tarif tak sampai benar-benar dijalankan penuh.
Analogi Anak Muda: Ultimatum Ala “Admin” Grup, Semua Harus Kompak
Bayangkan grup project kampus atau kerja: begitu satu anggota mulai “toxic” dan ribut, admin langsung mengancam. “Kalau nggak bisa akur, semua tugas gue pending dan nilai lo semua gue tahan!” Kurang lebih beginilah gaya Trump menghadapi kedua negara ASEAN ini. Ancaman tarif seolah jadi “senjata admin” yang membuat semua pihak mau tak mau meredam ego dan kembali ke meja diskusi.
Jika Thailand-Kamboja cepat ambil langkah damai, bukan cuma hubungan antarnegara yang terselamatkan. Jutaan pekerja dan pengusaha di dua negara bisa ikut bernafas lebih lega. Sebaliknya, jika perang dingin berubah jadi perang tarif resmi, semangat “pertemanan antar tetangga” berubah jadi perlombaan siapa yang paling tahan banting menghadapi tekanan ekonomi.
Relasi Internasional Bukan Sekadar Soal Siapa Berani, Tapi Siapa Mau Akur
Kisruh perbatasan dan ancaman tarif 36% dari Trump jadi pelajaran penting: di era global, setiap gesekan kecil bisa berbuntut besar. Tak cuma bagi pemimpin, tapi langsung terasa ke dapur rumah warga kecil. Analoginya, dunia saat ini seperti satu kompleks rumah susun: kalau dua tetangga ribut terus, bukan cuma mereka yang rugi, tapi semua penghuni bisa-bisa kehilangan fasilitas bersama, kena biaya ekstra, bahkan kehilangan suasana damai.
Ultimatum Trump jelas jadi pecut bagi Thailand dan Kamboja untuk segera mencari titik temu dan memilih jalan damai, bukan adu kekuatan. Karena, dalam hidup bertetangga baik itu di level kampung ataupun negara, setiap keputusan bersama bakal berpengaruh lama.
Baca juga : Perbatasan Thailand-Kamboja: Lelah Bertikai, Warga Ingin Hidup Rukun
Satu Komentar